Realistis, Mendahului Tuhan

Dalam membuat perencanaan seringkali kita dihadang pernyataan yang mematikan ini: "Tidak Realistis!" atau "Mustahil", manakala target yang kita canangkan dinilai terlampau tinggi atau ide yang dilontarkan dianggap ide gila.

Target dinilai terlalu tinggi biasanya bila titik target tersebut tidak berada pada (berada diatas) garis ekstrapolasi yang ditarik dari data masa lalu. Garis ekstrapolasi adalah gambaran kecenderungan (trend) yang secara umum diartikan sebagai hal yang diperkirakan paling mungkin (most likely) terjadi dimasa datang berdasarkan pengalaman (data) masa lalu.

Ide gila juga sering dicampakkan karena dinilai tidak masuk akal, keluar dari pakem atau secara ekstrim jauh dari pola yang selama ini dilakukan maupun bidang keahlian yang digeluti.

Dilain pihak, kita mengenal istilah Insya Allah atau jika Allah menghendaki. Artinya, bagi Tuhan tidak ada urusan realistis ataupun tidak realistis. Jadi, mengatakan tidak realistis adalah bentuk menghakimi, memastikan sesuatu yang menjadi urusan Tuhan. Mengatakan tidak realisitis berarti mendahului Tuhan, Nggengge Mongso kata orang Jawa!

Yang menjerat kita mengatakan tidak realistis atau mustahil adalah rutinitas, kebiasaan, dan pengalaman masa lalu dengan cara-cara yang selama ini dikenal. ilmu dan pengetahuan yang diciptakan pada era statis aman terkendali seperti SWOT dan forecasting membantu menjerat kita dengan polapikir yang anti Tuhan itu. Baca pula SWOT Yang Bikin SEWOT Tuhan.

Yang diperlukan sebenarnya adalah kreativitas, mencari cara-cara baru yang berbeda yang akan merealistiskan hal-hal yang dengan cara lama dianggap mustahil diperoleh.

Nah, apalah artinya rencana ke depan apabila target yang ingin diraih hanyalah meneruskan apa yang selama ini dilakukan. Tak perlu perencanaan yang rumit, yang diperlukan hanyalah menghitung dengan rumus-rumus yang telah tersedia, memasukkan ke dalam template yang bisa dibuat lebih dahulu.

Itukah yang selalu ingin kita lakukan?
Bagaimana bisa mecapai visi kalau hanya meneruskan praktek-praktek yang biasa saja? Bagaimana negara bisa 'Adil Makmur' bila pengelolaannya terus seperti yang kita jalani sekarang...?

BBM Turun: Pahlawan Kesiangan!




Menyusul diturunkannya harga BBM oleh Pemerintah untuk yang kedua dan kemudian ketiga kalinya dalam waktu yang berdekatan, Partai Demokrat bergegas meluncurkan iklan di berbagai media masa berisikan ajakan mengucapkan terimakasih kepada Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan dan ujung-ujungnya mengajak masyarakat memilih (mencoblos atau mencontreng, ya?)partai tersebut pada pemilihan legislatif maupun memilih SBY pada pemilihan presiden tahun 2009 ini. Dengan lantang iklan itu meneriakkan rekor dalam sejarah, bahwa baru dalam pemerintahan yang dipimpin SBY inilah harga BBM diturunkan bahkan hingga 3 kali, dalam waktu berdekatan pula!

Menyaksikan iklan itu saya merenung dalam-dalam, adakah benar-benar pantas atau pada tempatnyakah masyarakat harus berterimakasih kepada Pemerintah yang dipimpin oleh SBY saat ini? Tepatkah alasan untuk memilih Partai berlambang 3 bintang itu pada pemilu legislatif karena "berhasil" menurunkan harga BBM, bahkan hingga 3 kali dalam waktu yang berdekatan? Siapakah yang sebenarnya berjasa dalam hal ini?

Saya teringat silang pendapat yang gencar saat pemerintah (yang ini juga) akan menaikkan harga BBM beberapa waktu dulu. Para pejabat pemerintah berdebat kencang mempertahankan argumentasi bahwa harga BBM harus dinaikkan karena mengikuti harga pasar BBM dunia karena Indonesia sudah menjadi negara pengimpor BBM dan negara sudah tak mampu memberikan subsidi lebih lanjut lagi. "Pertumpahan Dahak" itu akhirnya berujung pada keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dan rakyat bisa menelan (meski seret) logika mekanisme pasar itu sebagai alasan utamanya. Buktinya, rakyat tidak sampai memaksa pemerintah lengser dari kursi empuk mereka. Artinya, rakyat menerima logika itu sebagai konsekuensi logis mekanisme harga pasar dunia dan pemerintah tidak dianggap bersalah.

Padahal, kalau diibaratkan sebuah keluarga, pemerintah adalah sang ayah yang bertanggung jawab atas kehidupan anak istrinya tentu tidak rela bila anak dan istrinya menderita karena harga-harga keperluan hidupnya naik. Seorang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab akan mencari tambahan penghasilan (diluar penghasilannya selama ini) untuk menutupi kekurangan biaya hidup mereka. Kalau perlu sehabis ngantor lantas ngojek atau jadi pemulung, dan sebagainya. Dia tentu tidak akan menyerah begitu saja kepada keadaan diluar sana lalu kemudian berkata kepada anak-istrinya:
"Karena harga-harga pada naik mulai sekarang anak-anak harus berjalan kaki ke sekolah, tidak ada biaya untuk naik angkot lagi. Ibu tidak boleh masak daging lagi, tidak boleh beli sayur lagi dan setiap hari hanya memasak 1 liter beras saja!"

Seorang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab tentu akan berusaha mencari (tepatnya: menggali) sumber pendapatan lain demi menjaga tingkat kesejahteraan keluarganya, apalagi bila masih miskin. Dia tidak tega membiarkan anak dan istrinya semakin menderita!

Tapi sudahlah, rakyat akhirnya toh terpaksa harus menerima harga BBM naik karena sadar bapaknya tidak pintar atau tidak punya niat baik (tinggal pilih alasan mana yang benar) untuk menyejahterakan anak-istrinya.

Dan kini harga pasaran minyak dunia tiba-tiba turun dengan derasnya, dari 140 dollar AS menjadi 38 dollar AS. Adakah itu karena hasil kerja pemerintah RI? Tentu tidak sama sekali bukan? Dan konsekuensi logisnya, harga BBM dalam negeri pun semestinya otomatis turun! Kan mengikuti mekanisme pasar, alasan waktu 'pertumpahan dahak' dulu itu. Nah kalau tidak ngapa-ngapain lalu sekarang ngaku sebagai pahlawan dan meminta rakyat berterimakasih lalu mewujudkan rasa terimakasih itu dengan memilih pada pemilu nanti, apa gak disebut Pahlawan Kesiangan!

"Doing nothing is zero!" Tak ada nilai tambah dan tak pula berarti positif. Cuma kita sering punya kebiasaan memberikan apresiasi kepada anak kecil karena 'berhasil' tidak berbuat negatif alias menghindari pelanggaran. Bagi anak kecil, hasil nol pun sudah sering melegakan hati, dari pada berbuat negatif. Akankah kita hanya ingin sampai pada taraf itu?

Coba kita kaji dengan baik, bukankah mekanisme pasar itu bagai tangan-tangan yang terlihat, invissible hands, yang menggerakkan begitu banyak komponen sehingga tak akan ada seorangpun yang bisa mengklaim itu hasil kerjanya. Tak ada orang yang mampu mengontrol atau mengendalikan mekanisme pasar karena begitu banyak faktor yang saling mempengaruhi dan menjadi sebab akibatnya. Bahkan pihak yang memiliki faktor dominannya pun dan mencoba mempengaruhi pola mekanisme pasar sering terkaget-kaget sendiri atas resultante yang timbul dan sangat diluar perkiraannya.

Lalu siapa yang menggerakkannya kalau bukan Yang Maha Kuasa, Tuhan Pencipta Segalanya? Karena itu rasa syukur dan ucapan terimakasih sepantasnyalah diberikan kepada Tuhan YME! Bukan kepada siapapun. Nah kalau kini partai demokrat mengklaim BBM turun karena jasa mereka melalui pimpinan Pemerintah yang menjadi Ketua Dewan Pembinanya, apakah itu bukan berarti Lupa Tuhan? Masih ada waktu untuk sadar dan memperbaikinya, kawan...